MIMPI
Aku ini bukanlah seorang pemimpi
yang terjamah dalam lakon empuknya kasur di etalase malam. Aku bukan pula
pemimpi yang bersenandung dengan kidung-kidung indah utopis pengantar tidur.
Aku, cukuplah bagi diriku. Aku adalah seorang pemimpi yang menjadi perigi di
tengah kegersangan dan menjadi mata air kehidupan yang melegakan dahaga.
Ya…
Kita semua pastinya sudah sering mendengar kata “Mimpi”, benarkan? Apalagi
sebagai seorang pelajar/mahasiswa. Tentunya banyak sekali mimpi-mimpi yang selalu
membayang-bayangi hari-hari yang dilalui untuk segera direalisasikan. Misalnya
saja, pengen masuk PTN ternama, tamat kuliah dengan IPK tertinggi, memperoleh pekerjaan tetap yang bagus
dan punya penghasilan sendiri, menikah dengan orang ganteng/cantik dan
shalih/shalihah, memiliki anak dan seterusnya yang tidak mungkin diselesaikan
kelanjutannya… Hahaha
Satu
hal yang jelas, bahwa itu semua sangat diperbolehkan dan sangat penting untuk
dimiliki. Mengapa? Karena kita bermimpi untuk hidup, bukan hidup untuk
bermimpi. Manusia yang bermimpi untuk hidup, dia akan selalu berupaya
mensinergikan segala kemampuan yang dia miliki untuk terus bergerak
menghasilkan karya dengan apapun yang dia punya. Dia gunakan akalnya untuk
selalu aktif mencari solusi dan beragam inovasi. Dia gunakan tangannya untuk
selalu sigap membuahkan berbagai prestasi dan melakukan aksi. Kakinya juga tak
pernah letih melangkah ke forum-forum yang bermanfaat, mencari dan menimba
sebanyak-banyaknya ilmu dan wawasan.
Lain ceritanya dengan orang yang hidup untuk
mimpi, dia lebih senang meletakkan waktunya bersama bunga-bunga tidur nan
melenakan. Dia hanya mampu mengkhayal, tapi tak mampu melaksanakan. Dia hidup
dalam angan-angan dan hanya bisa berkata, “Andai saja aku…” Dia hanya bisa
berucap hal-hal indah yang diinginkan tanpa berusaha melakukan hal yang bisa
mendekatkan dirinya dengan apa yang dia impikan itu.
Sungguh
sebait kata hikmah telah menyorot begitu luar biasa mimpi dan cita-cita itu. “Cita-cita merupakan rahmat dari Allah.
Kalau bukan karena cita-cita, maka seorang ibu tidak akan menyusui anaknya dan
seorang petani tidak akan menanam padi.” Namun, sebenarnya yang kerap
terlupakan oleh kita, “Apakah sesungguhnya orientasi dari mimpi-mimpi yang kita
miliki itu?” Apakah mimpi kita hanya tertaut pada gunungan harta, kemilau hidup
untuk dunia? Ataukah kita benar-benar seorang pemimpi sejati yang menggenapkan
mimpinya dengan orientasi kemanfaatan bagi orang-orang di sekitar kita?
Sering
kali, atas nama karier kita terjebak dalam keegoisan bermimpi. Kita hanya bermimpi dengan orientasi pribadi.
Tujuan untuk kebaikan hidup kita sendiri. Jadilah akhirnya, jalan yang kita
tempuh tanpa melihat kiri dan kanan. Tanpa mempedulikan orang-orang di sekitar
kita. Atau istilahnya, “Asal mimpi
tuntas, semua jalan akan kulibas.” Entah itu jalan yang benar atau salah
kita tak tahu, yang jelas mimpi tercapai. Padahal akibatnya sangat merugikan
kita sendiri bahkan juga akan merugikan orang lain. Kita lupa memikirkan sampai
ke sana.
Orang-orang
seperti ini yang dikatakan sangat egois dalam bermimpi, kurang bahkan tidak
memiliki kepekaan nurani. Mereka tidak peduli dangan hak-hak dan mimpi-mimpi
yang dipunyai orang lain. Biasanya, mereka berkata: “Nanti, ketika saya sudah
sukses maka saya akan melakukan hal ini, itu, ini, itu…” Dalam artian, mereka
baru akan melakukan hal yang bermanfaat setelah mereka berhasil memenuhi
obsesi-obsesinya. Mereka tidak mengerti ketika kelak mereka menemui kegagalan
dalam usahanya atau kejatuhan dalam pencapaian yang tinggi mereka akan menyesal
dan mereka akan terduduk dalam posisi yang amat terpuruk. Hakikat kesuksesan
yang ada dalam benak orang-orang seperti itu hanya sebatas tercapainya mimpi
dan kepentingan pribadi.
Lain
halnya dengan orang-orang yang bermimpi dengan menyertakan orientasi
kemanfaatan untuk orang lain. Tercapai, tertunda atau tidak tercapainya sama
sekali mimpi-mimpinya, mereka tetap enggan berhenti untuk berbuat dan terus
berusaha mewujudkan mimpi itu. Bagi mereka tidak ada kata istirahat ataupun
berhenti. Seorang Umar yang perkasa pernah berkata: “Kalau saya tidur di siang hari, berarti saya mengabaikan hak-hak
rakyat.” Adakah kita menemukan diri kita sekuat Umar? Atau mampukah kita
seperti Imam Ghazali dan Buya Hamka yang tak pernah redup aliran ilmunya meski
terkurung dalam bui dan menjalani siksa yang bertubi-tubi.
Buat
kita semua, marilah kita mengenali sejenak seperti apakah figure pemimpi sejati itu sebenarnya. Pemimpi sejati, mereka adalah
panglima yang memenangkan pertempuran atas nafsu, kemalasan dan kelalaian.
Sikapnya selalu menjadi teladan bagi orang-orang di sekitarnya. Seluruh
hidupnya adalah pengabdian dan pengabdiannya tulus tanpa harapan. Mereka
jiwanya yang tetap kukuh meski dirundung badai kegagalan. Mereka yang nuraninya
peka terhadap kesulitan orang lain, lantas segera menolong, mencurahkan
perhatian, memberikan kepastian dan menumbuhkan bibit semangat serta gemar
mencarikan solusi terbaik.
Pemimpi
sejati adalah mereka yang fisiknya kebal oleh derasnya hujan, terik panas dan
kabut asap meski mengantarkannya kepada kematian. Karena mereka meyakini tidak
ada lagi kebajikan yang bisa dilakukan setelah kematian. Ibnu Qayyim AlJauziyah
bertutur:"Jika manusia tahu bahwa kematian
menghentikannya dalam beraktivitas, maka ia pasti akan melakukan perbuatan
dalam hidupnya yang pahalanya terus mengalir setelah mati.”
Untuk
alasan itu, jangan pernah kita lupa untuk bermimpi. Bermimpi dengan cinta.
Sematkan orentasi kepedulian kita kepada orang-orang yang membutuhkan. Seiring
mimpi yang terurai, jangan lupa kita tautkan pula obsesi kemanfaatan di
dalamnya. Karena “Sebaik-baik insan,
adalah yang paling besar manfaatnya untuk orang lain.” (Muttafaq ‘alaih).
Padang, -- Januari 2019
@Amrhy_02