NOSTALGIA
Cerita Amrhy_02
Angin sepoi-sepoi perlahan mendayu menyapu tubuhku. Bak patung yang
terpaku, aku tak beringsut sedikit pun.
Sebab, energi perhatianku hanya tertuju pada nama itu. Itulah nama yang sudah,
sedang dan akan terus ada di dalam dadaku. Dialah biduanitaku. Selama
jantungku masih berdetak dan bumi masih berputar pada porosnya, cintaku padanya
tak akan pernah sirna.
Aku mengenal dia sejak hari pertamaku di bangku kuliah. Sejak
saat itulah cinta kami tumbuh dan bersemi. Namun, selepas tahun pertama, aku harus meninggalkan kampung menuju Padang demi meniti ilmu Ekonomi di universitas swasta. Sementara itu, dia terpaksa harus
menjadi gadis kampung karena orang tuanya lebih memilih untuk membiayi kedua saudara laki-lakinya yang
sedang berlajar di universitas ternama di Sumatera Utara. Sejak saat itu, cinta kami hanya bersandar pada
lembaran-lembaran putih. Lembaran putihnya yang terakhir membuat
aku menangis.
***
Kali ini aku ingin mengikuti pesta perkawinan anak perempuan bapak Yusuf Maulana yang dipersunting Rifal, teman sekelasku dulu waktu SMK. Orang sekampung memanggilnya bapak
Yus. Dialah guru agama yang saleh. Istrinya bernama Khadijah. Di kampungnya, keluarga bapak Yus cukup disegani oleh orang-orang sekampung.
Jarak kampung bapak Yus dan kampungku sangat jauh. Oleh karena
itu, pagi-pagi benar aku sudah berangkat ke sana. Udara masih amat dingin. Rerumputan
masih basah. Matahari pun belum menggeliat dari peraduannya. “Aku
harus tiba sebelum malam merangkul senja,” demikian tekadku. Kuayunkan langkah
nan pasti menyusuri jalan setapak yang masih basah. Sambil menikmati
pemandangan pagi yang indah, kuatur irama langkahku menyebrangi sungai, melalui lembah dan menanjaki
bukit. Butir-butir keletihan pun menetes satu-satu membasahi ragaku yang sedang
terbakar asa rindu.
Tak biasa aku harus berjalan kaki sejak meninggalkan desaku 10 tahun
yang lalu. Kali ini aku sengaja berjalan kaki untuk menikmati pemandangan dan
udara pagi yang sudah lama kutinggalkan. Namun, saat ini pemandangannya
sudah sungguh berubah. Banyak pohon besar dan rindang yang dulunya bediri
kokoh di sepanjang jalan setapak sudah tidak tahu ke mana rimbanya.
Semuanya telah lenyap. Demikian pun dengan burung-burung yang bertengger, terbang
dan mencecit dari pohon yang satu ke pohon yang lain sudah tidak tampak lagi. Syukur, air kali masih tetap
mengalir, namun debitnya semakin berkurang.
“Ah, entah bagaimanakah rupa perempuan itu sekarang?” Tanyaku dalam hati. “Ah…, ngawur aku, dia
sudah jadi milik orang lain. Dia bukan jodohku. Dia bukan takdirku. Aku harus
menerima kenyataan ini!” Batinku.
Kupercepatkan irama langkahku, sebab aku ingin lekas tiba di
kampung yang kutuju. Aku ingin segera membunuh rasa rinduku dengan
merangkul dia, mantan kekasihku. Bukan cuman dia. Aku sudah
rindu pada orang tuanya yang sangat menyayangiku. Bagaimanakah mereka
sekarang? Sudah tuakah mereka? Masih kuatkah mereka? “Ah, aku rindu pada mereka semua.”
Tak terasa, matahari akan segera beristirahat di peraduannya.
Untungnya, aku sudah menginjak bibir kampung. Sebentar lagi aku tiba. Aku
memperlambat langkahku, karena ingin menikmati suasana baru di kampung mantan
kekasihku. Tapi kurasa tidak banyak yang berubah. Rumah-rumah penduduk masih
seperti yang dulu. Orang-orang masih hidup apa adanya. Kulihat para gadis dan
ibu rumah tangga masih berjalan berjejer menjujung ember air dari kali. Dari
balik jendela rumah, tampak anak-anak sibuk menyalakan pelita.
Kelihatannya, semunya tak berubah. “Ke manakah dana pembangunan selama sepuluh tahun itu?
Apakah pemerintah buta akan kebutuhan masyarakat di kampung ini. Aneh memang
negara ini! Puluhan tahun program pembangunannya tak membuahkan hasil sedikit pun,” omelku dalam hati.
Namun aku sangat terkejut melihat sebuah bangunan masjid megah yang berdiri tegak telak di
jantung kampung itu. Tak bisa kubayangkan antusiasme masyarakat di sini
membangun mesjid semegah ini yang menurutku menelan dana
miliaran rupiah. Dari manakah dana miliaran rupiah itu? Luar biasa. Setelah
sekian lama sejak aku pergi, hanya bangunan mesjid
yang berubah. Kemiskinan dan keterbelakangan masih sama seperti
dulu. Mengapa terjadi seperti ini? Aku tak tahu.
Masjid itu
tampak indah. Dindingnya yang bercat putih bersih dengan jendela kaca berwarna
warni. Di depannya berdiri sebuah pancuran air berukuran cukup besar. Di sekelilingnya terbentang taman bunga yang indah dihiasi dengan lampu-lampu taman
yang warna-warni. Di samping kiri mesjid itu berdiri sebuah menara mesjid yang tinggi menjulang. Di mesjid inilah Rifal
bersamanya dipersatukan Allah hari ini.
Tak terasa, selubung senja sudah terganti oleh malam. Malam itu, bersama bibi Riana, saudari ayahku yang sejak dipersunting om Joko
tinggal di kampung bapak Yus, aku berjejer bersama masyarakat
kampung lainnya yang ingin mengucapkan selamat. Dari jauh aku
melihat dia tampak tersenyum sumringah membalas ucapan
selamat. Ketika aku dan dia bersatu dalam pelukan, hatiku bergetar.
Ternyata rasa yang dulu belum hilang. Aku lihat bapak
Yus dan mama Khajidah hanya tersenyum melihat kami saling melepas rindu. Tapi, saat itu, aku tak
berani melihat mata Rifal yang tajam, setajam mata elang.
Malam itu berlalu begitu cepat. Hatiku sedih.
Senang. Bingung. Cemburu. Terluka. Terharu. Campur aduk.
Aku tak tahu. Tetapi yang pasti adalah bahwa air beningku sempat menjalari
pipiku malam itu. Dia sudah bukan milikku lagi. Namun, aku masih
merasa memilikinya. Entalah mengapa. Aku pun tak tahu.
***
Tujuan aku ke kampung ini adalah untuk menjenguk dia, wanita pujaanku. Aku
sudah terlalu rindu padanya. Pertemuan kami terakhir saat dia mengikuti ceramah perdanaku sebagai imam di kampungku. Setelah itu, aku
menjadi Ustadz di Bogor. Menjadi Ustadz adalah wujud kesetiaan cintaku padanya. Bukan pelarian. Bukan kebetulan.
Tapi yang jelas adalah bahwa inilah kehendak Tuhan.
Namun, saat ini aku berada di tempat ini. Tanpa kehadirannya. Tanpa
senyumnya. Tanpa tawannya. Hanya ada sebuah nama yang terlukis indah di batu
nisan. Nama yang sama juga masih jelas terukir dalam dinding hatiku. Shasa Ramadhani. Tak terasa, titik-titik putih jatuh terurai membentuk garis-garis bening
di pipiku.
Menurut cerita bibi Riana, dia pergi untuk selamanya meninggalkan dua buah
hatinya, Fadly dan Fenny
setelah menderita depresi berat karena Rifal
berselingkuh dengan seorang janda muda beranak satu yang adalah tetangganya
sendiri. Selamat jalan mantan kekasih. Doakanlah kami semua dari surga.