TIGA BULAN SENJA
PENGIKAT HATI
Di perjalanan
hidup ibu yang kini menginjak setengah abad, apalah yang kuharapkan darinya selain
hidup berbahagia. Tapi yang kuasa berkata lain,
pendamping hidup Ibu yang amat dia sayang telah dahulu dijemput oleh Sang Pencipta. Sedih
tentu itu perasaan lumrah yang biasa dirasakan
setiap orang yang di tingal pergi.
Selama enam bulan
setelah itu ibu tetap setia sendiri di rumah
yang menjadi saksi bisu perjalanan cintanya yang berbuahkan aku. Seorang anak
laki-laki yang sekarang juga telah memiliki istri dan
tentunya memiliki anak juga. Selama ini aku berkerja di luar kota dan telah menetap di sana.
Hal inilah yang membuat Ibu mau tak mau
harus sendiri di rumah ini.
Sesungguhnya aku telah berkali-kali mengajak ibu untuk ikut tinggal di rumahku. Namun
dia tetap menolak dengan berkata bahwa dia lebih senang tinggal di kampung
ini.
Aku sangat
bingung menghadapi sikap keras kepalanya ibu
ini. Karena hal inilah aku pun jadi sering bolak-balik dari kota ke kampung halamanku. Aku sangat mencemaskannya.
Aku ingin tinggal dengannya di sini sedang di lain
pihak aku juga harus bekerja.
“Abi, bagaimana kalau ibu
dinikahkan saja?” Suara istriku
tertangkap jelas oleh indra pendengaranku. Sontak saja aku menoleh ke arahnya.
Aku tak mengangap serius perkataan istriku ini sehingga aku hanya merespaon
seadanya. “Umi, ada-ada saja.” Mendengar tanggapanku,
istriku
tersenyum lembut ke arahku dan berjalan menghampiriku
lalu duduk di kursi ruang tamu yang tepat menghadap ke arahku.
“Umi serius Abi. Ini
hal yang biasa. Dengan menikah ibu mungkin akan
tenang dan punya tempat berbagi serta pencurahan hatinya yang memiliki
pemikiran yang sama dengannya. Ini lebih baik dari pada menyewa orang untuk
merawat Ibu” jelas istriku. Aku hanya menatapnya dengan sedikit
ketertarikan.
“Umi yakin dengan hal ini?” Tanyaku.
“Tentu, Bi”
“Sepemikiran
maksud Umi, apa yang memiliki umur
yang sama dengan ibu?”
“Ya, usahakan
tidak jauh beda Abi. Karena mereka akan
lebih mudah berkomunikasi dan mungkin saja memiliki perasaan yang sama yang
kita tidak pahami,” tambah istriku
lagi.
Senyuman terbingkai
di wajahku saat mendengar penuturan istriku, sungguh
tak salah aku telah memilih dan menjadikan dia pendamping hidupku. Dia sungguh
dapat menatap suatu persoalan dalam sudut
pandang yang berbeda sehingga terkesan tidak rumit lagi.
“Terima kasih, Umi.” Ucapku seraya mencium lembut keningnya.
“Abi akan membicarakannya dengan ibu.” Tambahku.
“Tentu Abi, secepatnya lebih baik.”
***
Di sinilah
aku sekarang, di depan rumah ibu bersama istri
dan seorang putri kecil kami Kushyi namanya.
“Assalammu’alaikum.”
Ucapku seraya mengetuk pintu. Tak lama
terdengar sahutan dari dalam rumah dan langkah kaki
berat yang terdengar mendekati pintu.
“Ya, tunggu sebentar.”
Tak berselang
lama kemudian. “Klek.” Suara pintu terbuka dan menampilkan potret sesosok wanita
yang telah termakan usia. Tak dapat
kupungkiri bahwa dia merupakan inspirasi dan idolaku
dari kecil sampai detik ini.
“Razhak!” Seru ibu. “Eehh, ada cucu kesayangan nenek juga… ayo masuk.” Sapa ibu dan kemudian menyuruh
kami memasuki rumah. Sebelum itu aku
beserta keluargaku kecilku mencium tangan ibu dengan penuh sayang dan hormat.
“Ibu, sebenarnya kedatangan aku ke sini
untuk membicarakan tetang ibu yang tidak mau ikut dengan
kami ke kota.” Ucapku memulai
pembicaraan.
“Jika kau masih bersikeras untuk mengajak Ibu, Ibu tetap akan menolak.
Kau tak perlu cemas. Ibu akan baik-baik
saja di sini. Lagi pula ibukan
tinggal di tengah kampung jadi jika ada sesuatu juga dapat minta bantuan pada
tetangga.” Sanggah ibuku. Mendengar perkataan ibu
aku hanya dapat menghela nafas lelah.
“Baiklah jika Ibu
berkata begitu, oleh karena itu aku ingin
mengusulkan sesuatu pada ibu jika Ibu berkenan.”
“Apa yang hendak kau usulkan.” tanya ibuku.
“Bagaimana kalau Ibu menikah lagi?” tanyaku dengan menatap penuh
keseriusan pada ibu. Lama ibu terdiam sampai dia berkata “Terserah padamu, asal kau tak memaksaku lagi untuk mengikutimu pindah ke kota,
tapi ya, apa masih adakah orang yang mau untuk menikah dengan ibumu ini?” Balas
ibu kurang yang yakin.
“Ibu tenang saja aku yang akan mengurusnya. Karena Ibu telah setuju lebih baik kita percepat saja melakukan niatan baik ini.” Terangku pada ibu.
“Kau sudah punya calon untuk Ibumu
ini?”
“Tentu Bu, Bapak Syukur ketua RT desa
sebelah,” jawabku. Belum sempat ibu berkata aku telah memotonganya, “Seperti yang aku
katakan sebelumnya ibu tenang saja,
aku nanti yang akan mengurusnya walau kita tetap
pergi bersama ke sana.” Ibu hanya terdiam
mematapku. “Jangan-jangan ibu
tak menyukainya?” Tanyaku.
“Ibu tak berhak berkata begitu, dia bahkan lebih muda
dari ibu tiga
tahun.”
“Kalau begitu nanti habis Maghrib
kita ke rumahnya,” tegasku. Ibu hanya merespon dengan anggukan. Kemudian kami
hanyut dalam perbincangan kecil yang sesekali tertawa karena ulah lucu putri kesayangan kami.
“Maksud kedatangan kami ke sini
baik dan kami berharap Bapak tidak marah. Apakah mau bapak menikah dengan ibu saya. Seperti yang bapak
ketahui ayah saya sudah meningal lebih dari enam bulan
yang lalu. Akan lebih baik jika ibu punya teman
dalam menjalani hari-harinya.” Kataku pada Bapak
Syukur ketika kami berkunjung dan sedikit berbasa
basi.
“Aku tidak masalah akan hal itu, jika ibumu juga menyetujuinya.”
Jawab bapak itu. Mendengarnya aku sungguh senang.
“Tentu saja.” Balasku yakin. “Kalau
begitu pernikahan akan dilakukan secepatnya,”
tambahku.
Seminggu kemudian pernikahan diadakan secara
sederhana. Tamu yang diundang adalah orang terdekat kedua belah
pihak saja.
Saat itu tak
banyak yang aku pikirkan yang
jelas aku sungguh merasa terharu melihat Bapak Syukur mengucapkan ijab kabul dan aku
teringat akan masa-masa itu saat aku melakukan hal yang sama lima tahun yang
lalu.
Sungguh tak pernah terlintas dibenakku sebelumnya akan hal ini.
***
Setelah menikah Bapak Syukur—ayahku— tinggal di rumah ibu sekarang. Dapat kulihat setelah pernikahanya ibu jauh lebih sehat dan dia jadi sering tertawa. Tentu
saja takkan ada roman picisan dalam kisahnya ini mungkin
panggilan mereka saja yang terkesan sedikit mesra. Aku juga tak habis pikir
pada ibu yang tak bosan mengasap
kopi yang banyak setiap harinya walau suaminya telah
mengomel panjang lebar tentang itu. Ya, begitulah. Aku tetap sering berkunjung
walau tak sering seperti sebelumnya.
Tak pernah aku
berpikir akan secepat ini. Tiga bulan setelah pernikahan
ibu dan ayah tiriku. Dia pergi
meningalkan kami untuk selama-lamanya. Aku tak tahu apa yang dirasakan Bapak Syukur —ayah
tiriku—, karena ini merupakan ke dua kalinya dia
ditingalkan oleh istrinya untuk
selamanya. Walau begitu aku tetap memanggilnya ayah.
Dia ayah yang baik menurutku, sebenarnya tidak hanya aku putri kami __Kushyi__
juga dekat denganya. Dia orang yang ceria walau
sudah tua. Tak salah aku menikahkan ibu dengannya.
Setelah ibu meninggal, Ayah Syukur kembali ke rumahnya
di desa sebelah dan dia tetap merawat rumah ibu. Apabila pulang kampung aku pasti langsung ke rumahnya.
Karena ibu, aku masih punya banyak alasan untuk tetap pulang dan memiliki satu orang ayah lagi yang luar biasa.
Tiga bulan dalam
senja ibu memberiku ikatan hati dan seorang ayah baru yang sungguh luar biasa.
Padang Pariaman, -- Februari 2019
@Amrhy_02