Friday, January 18, 2019

MIMPI




MIMPI

            Aku ini bukanlah seorang pemimpi yang terjamah dalam lakon empuknya kasur di etalase malam. Aku bukan pula pemimpi yang bersenandung dengan kidung-kidung indah utopis pengantar tidur. Aku, cukuplah bagi diriku. Aku adalah seorang pemimpi yang menjadi perigi di tengah kegersangan dan menjadi mata air kehidupan yang melegakan dahaga.

            Ya… Kita semua pastinya sudah sering mendengar kata “Mimpi”, benarkan? Apalagi sebagai seorang pelajar/mahasiswa. Tentunya banyak sekali mimpi-mimpi yang selalu membayang-bayangi hari-hari yang dilalui untuk segera direalisasikan. Misalnya saja, pengen masuk PTN ternama, tamat kuliah dengan IPK tertinggi, memperoleh pekerjaan tetap yang bagus dan punya penghasilan sendiri, menikah dengan orang ganteng/cantik dan shalih/shalihah, memiliki anak dan seterusnya yang tidak mungkin diselesaikan kelanjutannya… Hahaha

            Satu hal yang jelas, bahwa itu semua sangat diperbolehkan dan sangat penting untuk dimiliki. Mengapa? Karena kita bermimpi untuk hidup, bukan hidup untuk bermimpi. Manusia yang bermimpi untuk hidup, dia akan selalu berupaya mensinergikan segala kemampuan yang dia miliki untuk terus bergerak menghasilkan karya dengan apapun yang dia punya. Dia gunakan akalnya untuk selalu aktif mencari solusi dan beragam inovasi. Dia gunakan tangannya untuk selalu sigap membuahkan berbagai prestasi dan melakukan aksi. Kakinya juga tak pernah letih melangkah ke forum-forum yang bermanfaat, mencari dan menimba sebanyak-banyaknya ilmu dan wawasan.

             Lain ceritanya dengan orang yang hidup untuk mimpi, dia lebih senang meletakkan waktunya bersama bunga-bunga tidur nan melenakan. Dia hanya mampu mengkhayal, tapi tak mampu melaksanakan. Dia hidup dalam angan-angan dan hanya bisa berkata, “Andai saja aku…” Dia hanya bisa berucap hal-hal indah yang diinginkan tanpa berusaha melakukan hal yang bisa mendekatkan dirinya dengan apa yang dia impikan itu.

            Sungguh sebait kata hikmah telah menyorot begitu luar biasa mimpi dan cita-cita itu. “Cita-cita merupakan rahmat dari Allah. Kalau bukan karena cita-cita, maka seorang ibu tidak akan menyusui anaknya dan seorang petani tidak akan menanam padi.” Namun, sebenarnya yang kerap terlupakan oleh kita, “Apakah sesungguhnya orientasi dari mimpi-mimpi yang kita miliki itu?” Apakah mimpi kita hanya tertaut pada gunungan harta, kemilau hidup untuk dunia? Ataukah kita benar-benar seorang pemimpi sejati yang menggenapkan mimpinya dengan orientasi kemanfaatan bagi orang-orang di sekitar kita?

            Sering kali, atas nama karier kita terjebak dalam keegoisan bermimpi. Kita  hanya bermimpi dengan orientasi pribadi. Tujuan untuk kebaikan hidup kita sendiri. Jadilah akhirnya, jalan yang kita tempuh tanpa melihat kiri dan kanan. Tanpa mempedulikan orang-orang di sekitar kita. Atau istilahnya, “Asal mimpi tuntas, semua jalan akan kulibas.” Entah itu jalan yang benar atau salah kita tak tahu, yang jelas mimpi tercapai. Padahal akibatnya sangat merugikan kita sendiri bahkan juga akan merugikan orang lain. Kita lupa memikirkan sampai ke sana.

            Orang-orang seperti ini yang dikatakan sangat egois dalam bermimpi, kurang bahkan tidak memiliki kepekaan nurani. Mereka tidak peduli dangan hak-hak dan mimpi-mimpi yang dipunyai orang lain. Biasanya, mereka berkata: “Nanti, ketika saya sudah sukses maka saya akan melakukan hal ini, itu, ini, itu…” Dalam artian, mereka baru akan melakukan hal yang bermanfaat setelah mereka berhasil memenuhi obsesi-obsesinya. Mereka tidak mengerti ketika kelak mereka menemui kegagalan dalam usahanya atau kejatuhan dalam pencapaian yang tinggi mereka akan menyesal dan mereka akan terduduk dalam posisi yang amat terpuruk. Hakikat kesuksesan yang ada dalam benak orang-orang seperti itu hanya sebatas tercapainya mimpi dan kepentingan pribadi.
             
            Lain halnya dengan orang-orang yang bermimpi dengan menyertakan orientasi kemanfaatan untuk orang lain. Tercapai, tertunda atau tidak tercapainya sama sekali mimpi-mimpinya, mereka tetap enggan berhenti untuk berbuat dan terus berusaha mewujudkan mimpi itu. Bagi mereka tidak ada kata istirahat ataupun berhenti. Seorang Umar yang perkasa pernah berkata: “Kalau saya tidur di siang hari, berarti saya mengabaikan hak-hak rakyat.” Adakah kita menemukan diri kita sekuat Umar? Atau mampukah kita seperti Imam Ghazali dan Buya Hamka yang tak pernah redup aliran ilmunya meski terkurung dalam bui dan menjalani siksa yang bertubi-tubi.

            Buat kita semua, marilah kita mengenali sejenak seperti apakah figure pemimpi sejati itu sebenarnya. Pemimpi sejati, mereka adalah panglima yang memenangkan pertempuran atas nafsu, kemalasan dan kelalaian. Sikapnya selalu menjadi teladan bagi orang-orang di sekitarnya. Seluruh hidupnya adalah pengabdian dan pengabdiannya tulus tanpa harapan. Mereka jiwanya yang tetap kukuh meski dirundung badai kegagalan. Mereka yang nuraninya peka terhadap kesulitan orang lain, lantas segera menolong, mencurahkan perhatian, memberikan kepastian dan menumbuhkan bibit semangat serta gemar mencarikan solusi terbaik. 

            Pemimpi sejati adalah mereka yang fisiknya kebal oleh derasnya hujan, terik panas dan kabut asap meski mengantarkannya kepada kematian. Karena mereka meyakini tidak ada lagi kebajikan yang bisa dilakukan setelah kematian. Ibnu Qayyim AlJauziyah bertutur:"Jika manusia tahu bahwa kematian menghentikannya dalam beraktivitas, maka ia pasti akan melakukan perbuatan dalam hidupnya yang pahalanya terus mengalir setelah mati.”

            Untuk alasan itu, jangan pernah kita lupa untuk bermimpi. Bermimpi dengan cinta. Sematkan orentasi kepedulian kita kepada orang-orang yang membutuhkan. Seiring mimpi yang terurai, jangan lupa kita tautkan pula obsesi kemanfaatan di dalamnya. Karena “Sebaik-baik insan, adalah yang paling besar manfaatnya untuk orang lain.” (Muttafaq ‘alaih).



Padang, -- Januari 2019

@Amrhy_02

No comments:

Post a Comment