KEBETULAN YANG TAK DISENGAJA
Cerita Amrhy_02
Indah dan memesona merupakan kata-kata
yang selalu saja meluncur di hatiku saat melihat mentari pagi,
hangat dan sangat menggoda dengan daya tarik alami yang sangat unik. Begitulah
menurutku. Tetapi
kali ini berbeda, kata itu muncul
berulang kali di hati dan otakku. Aku tak pernah seperti ini sebelumnya. Sungguh aku tak habis pikir mengapa? Ini sangat
membingungkan. Kau tahu mengapa? Jika kau tak
tahu, tak salah bila kau menyelesaikan membaca kisahku ini.
Jawabannya karena
kata itu muncul setiap kali aku
melihat dirinya. Dia yang selalu duduk di baris depan di kelas kami. Dia yang tak banyak bicara. Dia yang yang dapat
menyelesaikan soal rumit yang menurutku membingungkan. Dia yang menganggap membaca buku lebih kurang setebal lima centi meter itu menyenangkan. Dia yang tak pernah
bisa tidak kuperhatikan dalam sehari. Sepertinya kali ini
dialah matahari dan aku adalah planet yang mengelilinginya. Dia
menjadi pusat dari segala hal di dunia ini bagiku.
Dari perumpamaan
di atas kau pasti sadar dia sangat populer. Artinya, tidak hanya aku planet yang menjadikan
dia sebagai mentarinya. Mengetahui itu aku cukup tertekan, berasa orang sepertiku ini
tak akan pernah terbias pada korneanya yang bulat hitam dan mata yang sipit itu. Dengan ketidakrelaan
kucoba memendam dan menghapuskan rasa ini dari hati dan pikiranku.
Tepat di hari Senin pagi, aku terlambat lagi berangkat ke sekolah gara-gara semalaman tidak tidur menikmati setumpuk buku yang baru aku
beli siangnya.
Setelah berlari kencang saat turun dari angkutan umum,
napasku sungguh tak dapat dikompromi.
Rasa haus teramat sangat, ini mungkin karena aku lupa
minum sebelum berangkat ke sekolah. Padahal ibu sudah ciapkan segelas susu
segar. Emang sih sesal itu datangnya
belakangan. Aku
ragu menganggap ini sebagai kesialan atau malah keberuntungan bagiku di hari itu.
Ya… Hari
itu walaupun sudah bergegas ke sekolah aku
tetap terlambat dan hukumannya aku harus belajar sendiri di perpustakaan. Itu sangat membosankan, ingin rasanya aku bolos
saja seperti sebelumnya yang aku lakukan
jika aku terlambat atau aku bosan. Tapi, entah apa yang membawa langkah kakiku
ke perpustakaan. Sampai hal yang tak kuduga pun terjadi.
Dia, ya mentariku ada di sana. Di
perpustakaan. Dia sedang duduk tenang di sudut perpustakaan. Dia
menyandarkan kepalanya di sebuah rak buku dan tampak seperti seorang dewi yang
duduk nyaman di singgasananya . Lama aku hanya terdiam memandanginya
dan selama itu pula dia tetap tenang dengan kesibukannya.
Tak sedikit pun dia melirik ke arahku, Aku tahu dia
pasti sangat menghayati bacaannya. Tak lama aku tersadar dari
keterpakuanku. Beberapa kalimat tanya hadir di otak kecilku. Seperti, mengapa
dia di sini? Apa dia terlambat? Haruskah aku mendekatinya?
Daripada bengong terus memandangi
wajahnya, akhirnya aku
mencoba mendekatinya dan duduk di sampingnya. Karena aku tak
dapat mengucap sepatah kata pun maka aku berusaha diam, satu-satunya bahasa
hati.
Namun karena fokusku
terpaut padanya aku malah membuat dia
menyadari hal itu. Aku jadi salah tingkah gara-gara dia melihatku dengan
senyum manisnya. Aku refleks berdiri dan tak sengaja menyenggol tumpukan buku
yang tersusun rapi di rak-raknya. Tak aku pungkiri itu menghasilkan suara gaduh yang menuai
protes dari penjaga perpustakaan.
“Jangan berisik
di pustaka. Kau… Ah kau selalu
saja membuat kekacauan di mana pun berada, cepat bereskan itu!”
Tegur serta titah penjaga pustaka padaku. Emang penjaga perpustakaan kali ini terkenal tegas dan
cerewet. Dia
terkenal dan aku juga terkenal di bidang …
Kau pasti tahu. Bertolak belakangkah?
“Baik, Pak. maaf!” Kataku seraya membereskan buku yang berserakan di lantai.
“Butuh bantuan?”
Tanya sebuah suara yang sedikit asing di pendengaranku.
Spontan saja aku
menoleh dan mendapati dia tepat di hadapanku. Jarak
kami saat ini tepat dua langkah. Tak pernah terpikirkan
aku akan sedekat ini dengannya. Aku terdiam
menatap tepat pada dua bola matanya yang memancarkan keteduhan bagi siapa saja
yang melihatnya.
“Aaa.. ti…tidak apa-apa.” Balasku
gugup.
“Ooh tidak, apa yang ku katakan,”
batinku menyesalinya.
“Ahhaha… Tak apa, bukankah
kita teman sekelas? Kau lucu.” Balasnya seraya tertawa kecil. Kemudian melempar senyum manis dan lembutnya lagi padaku.
Aku terpana menikmati senyumannya yang sungguh menawan itu, di tambah lagi dua lesung pipit di pipinya itu
makin terlihat jelas.
Aku tak tahu tapi intuisiku mendorongku untuk mengatakan.
“Aku mengagumimu
lebih tepatnya aku jatuh hati.” Spontan kata itu keluar
dari mulutku.
“Ekh..” Terkejutnya dan…
“Ahahaha… Kau benar-benar lucu.” Katanya.
“Terima kasih telah
membuatku tertawa, sungguh sudah lama aku tak tertawa seperti ini.” Tambahnya.
“Aaa… Benarkah? Haahaaa…” Kata disertai
tawaku. Ingin sebenarnya kukatakan bahwa aku serius tapi intuisiku berkata ini langkah yang tepat jadi tak perlu
terburu- buru.
Aku percaya akan ada kesempatan selanjutnya di mana
aku akan bisa lagi bertemu dan ngobrol serius dengan mentariku. Hari ini cukup
sampai di sini dulu kisahku. Biar waktu yang akan mengatur goresan tinta apa
lagi yang akan aku lalui bersama mentariku!
Bukittinggi, Agustus 2017
No comments:
Post a Comment