Thursday, November 29, 2018

ANGGUN MENAWAN HATI


Siang itu, langit biru cerah tanpa sedikit pun gumpalan awan menemani. Hamparan biru bersih itu layaknya kanvas alam yang begitu luas, menggambarkan keindahan lukisan-Nya terlebih ketika menikmatinya dari hamparan rumput hijau yang menyalurkan kehangatan alam. Segerombolan burung merpati sesekali menghidupkan pemandangan yang penuh kedamaian itu dengan atraksi mereka. Lalu lintas di depan rumah yang ramai berlalu lalang juga tak merusak suasa siang itu. Tenang, damai dan menghangatkan.

Jihan dan Onya menikmati hari yang indah itu dengan berlari-larian di padang rumput, berkejar-kejaran dengan Tian (ponakan mereka yang baru saja menginjak usia empat tahun).

Wo lai..lai… wo lai.. lai…Teriakan Tian menghidupkan suasana sambil berlari-lari ke arah Jihan dan menghamburkan diri ke pelukan bibinya yang cantik dan bermata sipit itu. Lalu berlari ke arah Onya dengan teriakan yang sama, “wo lai..lai… wo lai..lai..”. Akhir minggu yang sungguh sempurna! 

Umi, ada telpon ini…Fandy, lelaki setinggi 175 cm dan berbadan tegap itu muncul dari dalam rumah, membawa telpon di tangannya.

Ya, siapa Bi?” Sang istri menjawab dari arah padang rumput, tidak beranjak sedikit pun,  masih ingin menikmati kehangatan mentari yang jarang didapatkan sejak awal musim panas berlalu. 

Chy Hua…” Nama seorang gadis berdarah Cina keluar dari mulut pria penyabar itu. Anita masih malas untuk beranjak, tapi dia juga tidak tega membiarkan suaminya berdiri begitu saja di depan pintu tanpa diacuhkan sedikit pun. Dengan malas, gadis manis berdarah Arab-Minang itu bangkit dan meraih gagang telpon.

Assalamu’alaikum…
Anita… huks..huks…” Suara di seberang sana tidak menjawab salam dari Anita, yang terdengar hanya suara isak tangis. Bahkan bait demi bait kalimat yang mengucur pun tidak bisa dipahami oleh Anita dengan sempurna. Berbicara dengan pelan-pelan saja, masih sulit bagi Anita untuk memahami bahasa Cina yang baru didalaminya selama dua setengah tahun, apalagi jika berbicara dengan cepat dan diiringi isak tangis.

“Oke..oke… Kita ketemuan di rumahku saja bagaimana?” Tawar Anita, karena sudah tidak punya ide sama sekali atas apa yang disampaikan oleh rekannya di ujung telpon sana. Sebenarnya Anita juga agak enggan, karena dia jarang sekali punya waktu full dengan keluarganya. Hari-harinya yang sibuk mengajar benar-benar menguras waktu dan tenaga. Hanya di akhir minggulah waktunya bersama keluarga bisa dimaksimalkan.

***

Mata Chy Hua masih sembab, sesekali isak tangisnya masih terdengar disela-sela ceritanya.

“Please… antarkan aku berbelanja…” Pinta Chy Hua sekali lagi. Berat sekali bagi Anita untuk berkata “YA”, namun dia juga tidak bisa berkata “Tidak”. Bahkan sang suaminya yang turut mendengarkan cerita Chy Hua mendorongnya untuk pergi menemani dan menawarkan diri untuk menjaga Tian selama kepergiannya. Masih berat bagi Anita..

Tapi akhirnya dia beranjak juga dan meminta Chy Hua untuk menunggu sebentar, dia hendak mengganti pakaian dulu. Jelang sepuluh menit Anita sudah selesai berbenah. Menggunakan longdress musim panas yang penuh dengan bunga warna-warni, dilengkapi dengan jaket jeans abu-abu dan pasmina berwarna merah muda lembut membuat suaminya tidak sanggup menahan diri untuk berkomentar.

“Kamu cantik sekali…”Anita tersipu malu, meraih tas merah tua mungil di dinding kamar dan berpamitan dengan suaminya.

Chy Hua tersenyum mengamati pasangan yang selalu romantis itu dan membayangkan, kapan kalimat seperti itu meluncur dari mulut suaminya. Dibandingkan Anita, Chy Hua jauh lebih stylish, barang-barang yang dipakainya selalu barang yang bermerek dan pilihannya juga selalu jatuh pada model terbaru. Setiap pergantian musim dia selalu mengganti baju dan style, tidak seperti Anita, yang jelas-jelas musim dingin malah masih menggunakan busana musim panas. Tapi setelah dipadu-padan dengan atribut musim dingin seperti ledging dan jaket jeans gantung, hasilnya memang bisa dibilang tidak mengecewakan. Bahkan Anita tampil dengan begitu menawan.



Tian terlalu asyik bermain dengan Jihan dan Onya, biasanya dia selalu merengek minta ikut jika Anita pergi keluar. Namun kali ini dia hanya melambaikan tangan dari jauh, masih sibuk berlari-larian di taman.

“Pakai mobilku saja…” Chy Hua sambil membukakan pintu mobil Jazznya yang diparkirkan tepat di depan rumah mungil Anita. Chy Hua melajukan mobilnya dengan kecepatan 70km/jam. Jalanan cukup ramai saat itu karena orang-orang di ibu kota memang suka memanfaatkan liburan akhir pekannya dengan berjalan-jalan keluar rumah. Rambut Chy Hua yang menyembul dari jilbab yang dipakainya berkibar-kibar tertiup angin.

“Masjid Agung Istiqlal, di bundaran menuju ke arah Butikkan?” Chy Hua memastikan posisi daerah tujuan mereka. Anita mengiyakan dan memberikan arahan detail rute jalan yang bisa dijadikan alternative.

“Bagaimana nanti kalau dari sana kita ke Distro dulu? Aku juga ingin membeli beberapa baju.” Ajak Chy Hua.

“Di belakang masjid ada pasar kok. Ada banyak baju juga di sana.”

“Ooo…” Chy Hua menjawab pelan, tidak membayangkan dia akan menggunakan baju dari pasar nanti dengan harga sepersepuluh dari harga baju yang biasa dipakainya.

“Sampai kapan suamimu di Jeddah?” Anita mencoba membuka topik pembicaraan baru. Firdan, suami Chy Hua merupakan warga asli Jeddah. Mereka bertemu di lapangan bisnis, saat itu Chy Hua bekerja sebagai teller bank dan Firdan seorang bisnisman yang tengah mengembangkan usaha produk herbalnya di Jakarta. Dalam proses yang tidak sampai dua tahun mereka mengikrarkan diri sebagai pasangan suami istri, dan sejak saat itu pula Chy Hua menjadi seorang muslimah. Alasannya waktu itu hanya untuk menikah dengan Firdan. Terkadang dengan sedikit merasa terpaksa dia berusaha untuk mendalami ajaran Islam, agama yang diperkenalkan suaminya. Melalui beberapa situs islami berbahasa Cina dia melahap semua hal tentang Islam, belajar shalat dan membaca Al-Quran. Waktu itu dia hanya mengikuti perkataan suaminya.

“Kalau kamu memilih untuk menjadi seseorang yang tidak beragama, bagaimana kamu bisa mendidik anak-anak kita nantinya? Dan apakah kamu tidak kasihan, jika mereka bingung melihat ayah dan ibunya yang berbeda?” Kalimat itulah yang membuatnya mau untuk belajar Islam, di antara kesibukannya yang begitu padat. Demi anak-anaknya nanti… 

Namun suaminya tidak puas sampai di situ. Dia ingin Chy Hua pun menutup dirinya dengan sempurna, berhijab. Masih sulit bagi Chy Hua untuk memenuhi permintaan tersebut, karena dia harus kehilangan pekerjaannya jika memutuskan untuk memakai jilbab. Apalagi perekonomian saat ini sedang tidak stabil, bergantung kepada bisnis suaminya bukan cara yang bisa diandalkan. Hingga disepakati, setiap pergi kerja Chy Hua akan berbusana seperti sedia kalanya, namun untuk kegiatan sehari-hari baru menutup aurat.

“Bulan depan tampaknya.” Jawab Chy Hua setelah cukup lama. Anita mencoba mencari topik baru, agar perjalanan mereka tidak dihiasi oleh hening saja.
“Setelah dua tahun lebih menjadi seorang muslimah, apakah ada perubahan berarti dalam hidupmu Hua?”

Chy Hua tertawa mendengar pertanyaan Anita dan menjawab, “Tentu saja… Aku tak lagi makan babi… Kemana-mana jadi vegetarian karena susah mencari daging halal… Tidak minum-minum lagi… Ke mana-mana harus tampil tertutup begini… Semua busanaku yang seksi-seksi tidak bisa dimanfaatkan lagi.” Anita tersenyum, walau hatinya sedih. Namun ya… tidak mudah memang.

Chy Hua bahkan jauh lebih baik, dibandingkan kebanyakan mualaf lainnya yang masuk Islam hanya demi menikah. Walau masih agak ‘berat’, namun dia masih mau untuk berubah, masih mau untuk mendalami Islam lebih jauh lagi. Barangkali saja, seiring berjalannya waktu, seiring semakin bertambah pemahamannya akan Islam dia akan bermetamorfosis menjadi muslimah seutuhnya.

***


Chy Hua memilah-milah kerudung yang ada di Toko Zoya, toko yang berada di belakang masjid. Dirinya tampak kurang begitu antusias, namun dipilihnya juga beberapa jilbab segi empat dan jilbab praktis. Beberapa baju yang ada dinilainya terlalu “norak” sehingga dia tidak memilih satu pun. Anita cuma bisa geleng-geleng kepala dan dengan sabar mengantarkan Chy Hua hunting  baju di toko-toko yang berjejer di sepanjang pasar. Beberapa cardigan dan celana panjang Anita pilihkan buat Chy Hua.

“Tidak transparan dan tidak membentuk badan.” Berkali-kali Anita menekankan hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam mencari pakaian. Chy Hua benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana dirinya nanti. Padahal dia berusaha tampil secantik mungkin untuk membahagiakan suaminya, namun mengapa justru suaminya tidak senang?

“Ini juga bisa dipadu padakan.” Anita mengambil bando kain berwarna biru muda, dan syal putih yang tertata di depan toko. Di lilitkannya di atas kepala Chy Hua dan mengulurkan kain sisanya di depan dada. Chy Hua tersenyum melihat sosoknya yang tampak lebih anggun di depan cermin.

“Eh benar… Gaya begini juga tampak lebih segar dan muda….”

“Ada banyak jilbab tutorial di YouTube. Nanti aku share-kan link nya.”

“Mmm…” Chy Hua mengangguk, tampak mulai antusias. Jilbab ternyata tidak semembosankan yang dibayangkannya.

***

“Anita…” Suara Chy Hua terdengar dari seberang telpon sana. Anita mencoba menebak-nebak, ada apalagi sekarang.
“Makasih banyaak… Tadi aku dan suami pergi ke pesta, suamiku memujiku cantik sekali…. Padahal aku cuma memakai gaun putih dan jaket kulit coklat. Di tambah dengan jilbab praktis yang kita beli di pasar belakang masjid.“ Chy Hua mencoba mendeskripsikan sedetail mungkin apa yang dipakainya hari itu, yang membuat suaminya begitu bahagia dan memujinya.

“Bajunya menerawang nggak?”

“Enggak..”

“Rambutmu keluar-keluar nggak?”

“Enggak”

“Alhamdulillah… Kamu tahu mengapa suamimu bilang kamu cantik?”

“Enggak… Kenapa ya?”

“Karena kamu sudah cantik di mata Allah… Otomatis, kamu pun jadi begitu cantik di mata suamimu…”

“Ng..??” Chy Hua tidak mengerti dengan penjelasan Anita. Lagi, Anita cuma tersenyum, yang pastinya tidak bisa dilihat oleh Chy Hua. Senyum itu semakin merekah, ketika keyakinan muncul dalam hatinya, perlahan namun pasti. Chy Hua pasti mengerti.



Padang Pariaman, -- November 2018
@Amrhy_02

No comments:

Post a Comment