Monday, September 3, 2018

PERTEMUAN DUA BAHU




PERTEMUAN DUA BAHU
By: Amrhy-02

Tak terasa, hari ini adalah hari Jumat ke-2 dalam catatan Ramadan tahun ketiga aku di kampus ini. Aku tinggalkan kampung halaman menuju negeri orang untuk menuntut ilmu. Tinggal di negeri yang pergaulannya sudah bebas, tak ada aturan dan batasan yang mengikat lagi. Tapi tampaknya sudah menjadikan aku terbiasa sibuk dengan aktivitasku sendiri. Tak terkecuali di hari Jumat kali ini. Aku memulai hari ketika para tetangga yang sebagian besar mahasiswa lokal masih asyik bermain peran dalam mimpi mereka. Calon penerus bangsa itu masih terbuai nyaman di balik selimut tebal dan beralas kasur empuk. Ternyata angin bulan September cukup berhasil meninabobokan seluruh anak manusia itu hingga pukul 8 pagi.

Kadang kala aku juga ingin mengikuti kebiasaan mereka untuk sekedar menghangatkan badan sembari menunggu sang raja siang. Tak jarang aku juga kemudian ikut kembali tertidur, lepas tertunainya shalat subuh, terlebih jika hawa dingin mengepung kamar kost-anku, pertanda musim penghujan sudah datang sehingga sedikit dingin dari hari-hari biasanya.

Salah satu nikmat mahal yang aku jumpai di setiap hari Jum’at adalah kebebasan dan kepercayaan berupa hak mengatur waktu secara mandiri agar kewajiban masuk dan bekerja di lab. tidak mengganggu waktu shalat Jumat. Tak semua muslim bisa memperoleh nikmat satu ini. Bisa dikatakan shalat Jumat empat kali sebulan merupakan satu dari sekelompok barang mahal yang masuk dalam daftar panjang cerita pahit turun temurun para senior muslim. Alhamdulillah, Allah menjadikan aku satu dari beberapa orang yang memperoleh nikmat ini.

Setelah menyelesaikan semua agenda penelitian, aku bersiap diri untuk berangkat menuju masjid terdekat guna melaksanakan shalat Jumat berjamaah. Alhamdulillah. Dengan mengendarai sepeda milik Lee yang aku diberi izin untuk menggunakannya. Jarak tempuh kampus-masjid yang biasanya 20 menit dengan bus, kali ini mampu disingkat menjadi 10-15 menit saja.

Suasana masjid telah ramai. Beberapa sahabat yang aku kenal sudah memenuhi shaf bagian depan. Beberapa jamaah terlihat khusyuk membaca Al-Quran dan mendirikan shalat sunnah. Sedangkan sebagian lagi berperan sebagai tuan rumah yang tampak sibuk menyiapkan senjata wajib musim panas: kipas angin berukuran jumbo untuk mengusir gerah yang dibawa angin. Suhu siang hari di sini akhir-akhir ini cukup tinggi. Beberapa ulasan berita ramalan cuaca melaporkan bahwa suhu luar ruangan sempat mencapai angka 33 derajat celsius. Padahal akhir Agustus semestinya merupakan waktu tutup buku bagi musim panas.

Beberapa menit sebelum azan dikumandangkan, aku masih mengambil wudhu di ruang belakang. Di sana aku bertemu dengan seorang pekerja yang terlihat baru saja tiba di masjid. Beliau terlihat masih mengenakan pakaian kerja. Dengan sedikit terengah-engah, sesaat setelah melemparkan pandangannya dengan cepat seperti seorang yang sedang mencari sesuatu dan tak menemukannya. Beliau segera berbalik arah meninggalkan ruang belakang menuju keluar. Aku tidak terlalu mengenal sosok pekerja tersebut meskipun beliau termasuk salah satu jamaah jumat aktif di masjid ini. Aku ingat betul jikalau jumat kemarin beliau datang terlambat. Beliau tiba sesaat setelah aku selesai melaksanakan shalat sunnah rawatib. Tanpa peduli dengan kesibukan para jamaah seusai shalat jumat berakhir, beliau melangkah menuju shaf pertama dan menunaikan shalat yang aku duga sebagi shalat Zhuhur pengganti.
***
Seperti biasa, selepas shalat jumat berakhir, para jamaah saling berkumpul membentuk kelompok-kelompok kecil. Meskipun tak jarang terlihat para jamaah akan saling berbaur untuk sekedar bertegur sapa atau terlibat obrolan yang lebih panjang setelahnya. Tak terkecuali kami. Aku kembali bertemu pekerja tadi dan terlibat sedikit obrolan dengan beliau. Alhasil, aku tahu bahwa beliau bekerja di sebuah pabrik pengecatan yang berlokasi cukup jauh dari lokasi masjid meskipun masih berada dalam satu kota.
“Libur mas?” Tanyaku.
“Tidak. Hari ini saya izin”. Suara lembut namun berwibawa meluncur dari bibirnya ditambah senyum yang membuat jelas kedua lesung pipi di wajahnya.

“Oh. Izin untuk shalat?” Tanyaku lagi.
“Bukan. Saya izin ke rumah sakit. Itu…. hmmmmm…. Rumah sakit apa ya?…. uhmm Ibnu…” ejanya dengan susah payah untuk melafazkan nama sebuah rumah sakit.

“Oh…. Ibnu Sina” saya melengkapi tanpa diminta.
“Iya rumah sakit itu”
“Sakit mas?”
“Iya. Sepertinya mata saya ada sedikit gangguan. Pekerjaan saya mengecat terus-terusan. Meskipun selama bekerja sudah dilengkapi kacamata khusus. Saya merasa sudah terjadi sesuatu dengan mata akibat semburan cat yang terus menerus itu. Saya ingin ke rumah sakit untuk mengecek keganjilan tersebut dan meminta surat pernyataan bahwa mata saya bermasalah. Saya ingin pindah saja dari kerjaan sekarang”. Jelas Beliau.
“Ooooo” obrolan kami berakhir.

Tiba-tiba suasana hening ikut nimbrung mengisi posisi antara aku dan beliau. Aku berusaha mengetahui lebih jauh apa gerangan yang terjadi dengan mata beliau. Aku menatap lekat-lekat mata yang terlihat lelah itu. Ups, beliau menjadi salah tingkah dan berpaling melempar badan mengarah kepada jamaah lain yang kebetulan turut serta duduk melingkar bersama kelompok kami.

Seorang rekan mahasiswa datang seraya menjulurkan tangannya untuk berjabat dengan tanganku. Tak perlu menunggu waktu lama, aku sudah terlibat diskusi dengan rekan sekampus tersebut. Akhirnya waktu untuk kembali ke kampus tiba. Sebelum pamit meninggalkan mushalla, aku kembali menyapa pekerja tadi untuk menawarkan tumpangan. Kebetulan rumah sakit yang beliau maksud adalah rumah sakit yang dekat dengan kampusku.

“Mau berangkat ke rumah sakitnya sekarang mas?” tanyaku kepada beliau sembari menyentuh pundaknya. Beliau terlihat lebih banyak diam dan sibuk dengan pikirannya sendiri.

“Eehhh…Iya. Mas juga mau ke sana? Mari kita naik taxi saja” jawab beliau sedikit terkejut.
“Klo mas mau. Kita bisa berangkat bareng Mas. Kebetulan aku bawa sepeda kemari”
“Oh gitu. Boleh, saya ikut”

Kami pun menyusuri trotoar yang menghubungkan masjid dan komplek pertokoan. Karena masjid tidak memiliki area parkir yang memadai, saya lebih memilih memarkirkan sepeda di tempat parkir khusus kendaraan roda dua yang terletak di sebuah komplek pertokoan tak jauh dari lokasi masjid.
“Saya ingin sekali kerja di sekitar masjid ini mas”. Sang  pekerja memulai obrolan kami kali ini.
“Emang mas sekarang kerja di mana? Bukannya sudah dekat?”
“Iya. Saya kerja masih di kota ini, namun lumayan jauh mas, jalannya masuk-masuk, terpencil. Butuh waktu 1-1.5 jam dari tempat kerja saya ke mari. Saya ingin seperti teman-teman lain yang pernah saya temui. Di samping mereka dapat menghadiri lumatan setiap pekan, lokasi masjid pun dapat mereka jangkau dengan berjalan kaki. Dekat……” Cerita beliau menggantung. Saya merasakan ada kerinduan besar yang tersembunyi di balik pernyataan beliau tersebut.

Sedikit menarik napas dengan berat. Mas pekerja tersebut melanjutkan apa yang sedang ia pikirkan.

“Saya tinggal sendiri Mas. Capek batin. Mas tahu? Saya tuh azan, iqamat dan shalat sendiri. Kadang kontainer saya buka lebar-lebar pintunya. Saya katakan pada kupu-kupu atau apa aja yang saya lihat untuk masuk dan temanin saya shalat. Kadang saya juga baca buku dengan suara keras. Saya anggap saja semua baju-baju yang tergantung sebagai teman yang mendengar. Terasa capeknya mas jika kita sendirian. Untuk itulah saya ingin pindah. Pindah kerja ke tempat yang lokasinya lebih dekat dengan masjid. Saya tidak mau seperti ini terus. Apa artinya banyak uang klo hati tidak tenang?” Tutup beliau dengan sebuah kalimat retoris.

“Memangnya mas sudah pindah berapa kali?”
Beliau menjawab seolah tahu arah pertanyaanku. “Tiga kali mas. Artinya ini yang terakhir buat saya untuk bisa pindah. Saya berharap banget semoga Allah pilihkan saya tempat kerja yang paling baik. Entahlah. Kadang saya berfikir, banyak orang tinggal di dekat masjid atau punya teman muslim tapi tidak menyadari hal itu sebagai nikmat yang amat berharga. Mereka jarang sekali ingin pergi ke masjid untuk ibadah atau menjaga shalat untuk terus berjamaah. Coba mereka tukeran saja dengan saya, ya mas?”

Aku merasa ditampar oleh pernyataan terakhir beliau. Rasa bersalah tiba-tiba hadir dalam hatiku. Ya….Allah. Engkau menegurku melalui seorang pekerja yang baru saja kukenal. Astaghfirullah.

Tak terasa kami telah sampai di parkiran. Setelah membuka kunci garpu kami berangkat bersama menuju rumah sakit Ibnu Sina.

Sepanjang perjalanan mas pekerja itu berulang-ulang menukikku dengan pertanyaan-pertanyaan polos seputar makna syukur. Bersyukur dengan kehidupan yang islami.Bahkan kemudian pertanyaannya itu seakan menjadi pertanyaan yang mengadiliku sebagai makhluk yang kurang maksimal dalam bersyukur. Masya Allah. Aku tertohok. Jika saja aku tidak sedang membawa sepeda itu, ingin rasanya ku sujud sesaat untuk melampiaskan rasa syukurku karena telah dipertemukan dengan beliau. Rabb ampuni dosaku. Belum bisa  kubayangkan jika sederet pertanyaan tadi disampaikan oleh malaikat penghisab. Merugilah diriku. Astaghfirullah. Tanpa kusadari sebuah air bening terbit dari balik kelopak mata. “Allah…..Ampuni hamba.” Bisikku lirih. Benar-benar lirih dan nyaris tak bersuara karena hilang ditelan bunyi angin yang lari menepi diusir gaya laju moncong sepeda.
****

Kami sudah berada tepat di depan Rumah sakit. Sama sekali tidak terasa. Tiba saatnya kami berpisah. Beliau turun dari sepeda dan sembari bertanya.
“Oh iya Mas, saya lupa, Mas namanya siapa?”
“Oh iya…saya juga lupa. Saya Razzaq dan Mas?”
“Saya Triono. Terima kasih banyak Mas atas waktu dan tumpangannya”
“Iya Mas senang bisa membantu. Mudah-mudahan Mas mendapatkan tempat kerja yang paling baik menurut Allah.”
“Iya Mas, terima kasih sekali lagi”.
“Assalamu’alaikum”.
“Wa’alaikumsalam”.

Kami berpisah, dua bahu semakin menjauh. Sebuah bahu melesat membelah angin di atas sepeda pinjaman. Sedangkan satu bahu lainnya merasakan kesejukan buatan yang ditiup moncong-moncong mesin pendingin ruang tunggu rumah sakit. Allah mengatur pertemuan dan perpisahan kedua bahu.


Bukittinggi, -- September 2018
@Amrhy_02

No comments:

Post a Comment