PERTEMUAN DUA BAHU
By: Amrhy-02
Tak terasa, hari ini adalah hari Jumat ke-2 dalam
catatan Ramadan tahun ketiga aku di kampus ini. Aku tinggalkan kampung halaman menuju negeri orang untuk menuntut
ilmu. Tinggal
di negeri yang pergaulannya sudah bebas, tak ada aturan dan
batasan yang mengikat lagi. Tapi tampaknya sudah menjadikan aku terbiasa sibuk dengan aktivitasku sendiri. Tak terkecuali di hari Jumat
kali ini. Aku memulai hari ketika para tetangga yang sebagian besar
mahasiswa lokal masih asyik bermain peran dalam mimpi mereka. Calon penerus
bangsa itu masih terbuai nyaman di balik selimut tebal dan beralas kasur empuk.
Ternyata angin bulan September cukup berhasil meninabobokan seluruh anak manusia itu hingga pukul 8 pagi.
Kadang kala aku juga ingin mengikuti kebiasaan mereka untuk sekedar
menghangatkan badan sembari menunggu sang raja siang. Tak jarang aku juga kemudian ikut kembali tertidur,
lepas tertunainya shalat subuh, terlebih jika hawa dingin mengepung kamar kost-anku, pertanda musim penghujan sudah datang sehingga
sedikit dingin dari hari-hari biasanya.
Salah satu nikmat mahal yang aku jumpai di setiap hari Jum’at adalah
kebebasan dan kepercayaan berupa hak mengatur waktu secara mandiri agar
kewajiban masuk dan bekerja di lab. tidak mengganggu waktu shalat Jumat. Tak
semua muslim bisa memperoleh nikmat satu ini. Bisa dikatakan shalat Jumat empat
kali sebulan merupakan satu dari sekelompok barang mahal yang masuk dalam
daftar panjang cerita pahit turun temurun para senior muslim. Alhamdulillah,
Allah menjadikan aku satu dari beberapa orang yang memperoleh nikmat ini.
Setelah menyelesaikan semua agenda penelitian, aku bersiap diri untuk berangkat menuju
masjid terdekat guna melaksanakan shalat Jumat berjamaah.
Alhamdulillah. Dengan mengendarai sepeda milik Lee yang aku diberi izin untuk menggunakannya. Jarak
tempuh kampus-masjid yang biasanya 20 menit dengan bus, kali ini mampu
disingkat menjadi 10-15 menit saja.
Suasana masjid telah ramai. Beberapa sahabat yang aku kenal sudah memenuhi shaf bagian depan.
Beberapa jamaah terlihat khusyuk membaca Al-Quran dan mendirikan shalat sunnah.
Sedangkan sebagian lagi berperan sebagai tuan rumah yang tampak sibuk menyiapkan senjata wajib
musim panas: kipas angin berukuran jumbo untuk mengusir gerah yang dibawa
angin. Suhu siang hari di sini akhir-akhir ini cukup tinggi. Beberapa
ulasan berita ramalan cuaca melaporkan bahwa suhu luar ruangan sempat mencapai
angka 33 derajat celsius. Padahal akhir Agustus semestinya merupakan waktu tutup buku
bagi musim panas.
Beberapa menit sebelum azan dikumandangkan, aku masih mengambil wudhu di ruang belakang.
Di sana aku bertemu dengan seorang pekerja yang terlihat baru
saja tiba di masjid. Beliau terlihat masih mengenakan pakaian kerja. Dengan
sedikit terengah-engah, sesaat setelah melemparkan pandangannya dengan cepat
seperti seorang yang sedang mencari sesuatu dan tak menemukannya. Beliau segera
berbalik arah meninggalkan ruang belakang menuju keluar. Aku tidak terlalu mengenal sosok pekerja tersebut meskipun
beliau termasuk salah satu jamaah jumat aktif di masjid ini. Aku ingat betul jikalau jumat kemarin beliau
datang terlambat. Beliau tiba sesaat setelah aku selesai melaksanakan shalat sunnah
rawatib. Tanpa peduli dengan kesibukan para jamaah seusai shalat jumat
berakhir, beliau melangkah menuju shaf pertama dan menunaikan shalat yang aku duga sebagi shalat Zhuhur pengganti.
***
Seperti biasa, selepas shalat jumat berakhir, para jamaah
saling berkumpul membentuk kelompok-kelompok kecil. Meskipun tak jarang
terlihat para jamaah akan saling berbaur untuk sekedar bertegur sapa atau
terlibat obrolan yang lebih panjang setelahnya. Tak terkecuali kami. Aku kembali bertemu pekerja tadi dan terlibat
sedikit obrolan dengan beliau. Alhasil, aku tahu bahwa beliau bekerja di sebuah
pabrik pengecatan yang berlokasi cukup jauh dari lokasi masjid meskipun masih
berada dalam satu kota.
“Libur mas?” Tanyaku.
“Tidak. Hari ini saya izin”. Suara lembut
namun berwibawa meluncur dari bibirnya ditambah senyum yang membuat jelas kedua
lesung pipi di wajahnya.
“Oh. Izin untuk shalat?” Tanyaku lagi.
“Bukan. Saya izin ke rumah sakit. Itu…. hmmmmm…. Rumah
sakit apa ya?…. uhmm Ibnu…” ejanya dengan susah payah untuk
melafazkan nama sebuah rumah sakit.
“Oh…. Ibnu Sina” saya melengkapi tanpa diminta.
“Iya rumah sakit itu”
“Sakit mas?”
“Iya. Sepertinya mata saya ada sedikit gangguan.
Pekerjaan saya mengecat terus-terusan. Meskipun selama bekerja sudah dilengkapi
kacamata khusus. Saya merasa sudah terjadi sesuatu dengan mata akibat semburan
cat yang terus menerus itu. Saya ingin ke rumah sakit untuk mengecek keganjilan
tersebut dan meminta surat pernyataan bahwa mata saya bermasalah. Saya ingin
pindah saja dari kerjaan sekarang”. Jelas Beliau.
“Ooooo” obrolan kami berakhir.
Tiba-tiba suasana hening ikut nimbrung mengisi posisi
antara aku dan beliau. Aku berusaha mengetahui lebih jauh apa gerangan yang
terjadi dengan mata beliau. Aku menatap lekat-lekat mata yang terlihat lelah itu. Ups,
beliau menjadi salah tingkah dan berpaling melempar badan mengarah kepada
jamaah lain yang kebetulan turut serta duduk melingkar bersama kelompok kami.
Seorang rekan mahasiswa datang seraya menjulurkan
tangannya untuk berjabat dengan tanganku. Tak perlu menunggu waktu lama, aku sudah terlibat diskusi dengan rekan sekampus tersebut. Akhirnya waktu untuk kembali ke kampus
tiba. Sebelum pamit meninggalkan mushalla, aku kembali menyapa pekerja tadi untuk
menawarkan tumpangan. Kebetulan rumah sakit yang beliau maksud adalah rumah
sakit yang dekat dengan kampusku.
“Mau berangkat ke rumah sakitnya sekarang mas?” tanyaku kepada beliau sembari menyentuh
pundaknya. Beliau terlihat lebih banyak diam dan sibuk dengan pikirannya
sendiri.
“Eehhh…Iya. Mas juga mau ke sana? Mari kita naik taxi
saja” jawab beliau sedikit terkejut.
“Klo mas mau. Kita bisa berangkat
bareng Mas. Kebetulan
aku bawa sepeda kemari”
“Oh gitu. Boleh, saya ikut”
Kami pun menyusuri trotoar yang menghubungkan masjid
dan komplek pertokoan. Karena masjid tidak memiliki area parkir yang memadai,
saya lebih memilih memarkirkan sepeda di tempat parkir khusus kendaraan roda
dua yang terletak di sebuah komplek pertokoan tak jauh dari lokasi masjid.
“Saya ingin sekali kerja di sekitar masjid ini mas”. Sang pekerja
memulai obrolan kami kali ini.
“Emang mas sekarang kerja di mana? Bukannya sudah
dekat?”
“Iya. Saya kerja masih di kota ini, namun lumayan jauh mas, jalannya
masuk-masuk, terpencil. Butuh waktu 1-1.5 jam dari tempat kerja saya ke mari.
Saya ingin seperti teman-teman lain yang pernah saya temui. Di samping mereka
dapat menghadiri lumatan setiap pekan, lokasi masjid pun dapat mereka jangkau
dengan berjalan kaki. Dekat……” Cerita beliau menggantung. Saya merasakan
ada kerinduan besar yang tersembunyi di balik pernyataan beliau tersebut.
Sedikit menarik napas dengan berat. Mas pekerja
tersebut melanjutkan apa yang sedang ia pikirkan.
“Saya tinggal sendiri Mas. Capek batin. Mas tahu? Saya tuh azan,
iqamat dan shalat sendiri. Kadang kontainer saya buka lebar-lebar pintunya.
Saya katakan pada kupu-kupu atau apa aja yang saya lihat untuk masuk dan
temanin saya shalat. Kadang saya juga baca buku dengan suara keras. Saya anggap
saja semua baju-baju yang tergantung sebagai teman yang mendengar. Terasa
capeknya mas jika kita sendirian. Untuk itulah saya ingin pindah. Pindah kerja
ke tempat yang lokasinya lebih dekat dengan masjid. Saya tidak mau seperti ini terus. Apa
artinya banyak uang klo hati tidak tenang?” Tutup beliau dengan sebuah kalimat
retoris.
“Memangnya mas sudah pindah berapa kali?”
Beliau menjawab seolah tahu arah pertanyaanku. “Tiga kali mas. Artinya ini yang terakhir
buat saya untuk bisa pindah. Saya berharap banget semoga Allah pilihkan saya
tempat kerja yang paling baik. Entahlah. Kadang saya berfikir, banyak orang
tinggal di dekat masjid atau punya teman muslim tapi tidak menyadari hal itu
sebagai nikmat yang amat berharga. Mereka jarang sekali ingin pergi ke masjid
untuk ibadah atau menjaga shalat untuk terus berjamaah. Coba mereka tukeran
saja dengan saya, ya mas?”
Aku merasa ditampar oleh pernyataan terakhir
beliau. Rasa bersalah tiba-tiba hadir dalam hatiku. Ya….Allah. Engkau menegurku melalui seorang pekerja yang baru saja kukenal. Astaghfirullah.
Tak terasa kami telah sampai di parkiran. Setelah
membuka kunci garpu kami berangkat bersama menuju rumah sakit Ibnu Sina.
Sepanjang perjalanan mas pekerja itu berulang-ulang
menukikku dengan pertanyaan-pertanyaan polos seputar makna syukur. Bersyukur dengan
kehidupan yang islami.Bahkan kemudian pertanyaannya itu seakan
menjadi pertanyaan yang mengadiliku sebagai makhluk yang kurang maksimal dalam
bersyukur. Masya Allah. Aku tertohok. Jika saja aku tidak sedang membawa sepeda itu, ingin rasanya ku sujud sesaat untuk melampiaskan rasa
syukurku karena telah dipertemukan dengan beliau. Rabb ampuni dosaku. Belum bisa kubayangkan jika sederet pertanyaan tadi
disampaikan oleh malaikat penghisab. Merugilah diriku. Astaghfirullah. Tanpa kusadari sebuah air bening terbit dari balik
kelopak mata. “Allah…..Ampuni hamba.” Bisikku lirih. Benar-benar lirih dan nyaris tak
bersuara karena hilang ditelan bunyi angin yang lari menepi diusir gaya laju
moncong sepeda.
****
Kami sudah berada tepat di depan Rumah sakit. Sama
sekali tidak terasa. Tiba saatnya kami berpisah. Beliau turun dari sepeda dan sembari bertanya.
“Oh iya Mas, saya lupa, Mas namanya siapa?”
“Oh iya…saya juga lupa. Saya Razzaq dan Mas?”
“Saya Triono. Terima kasih banyak Mas atas waktu dan
tumpangannya”
“Iya Mas senang bisa membantu. Mudah-mudahan Mas mendapatkan
tempat kerja yang paling baik menurut Allah.”
“Iya Mas, terima kasih sekali lagi”.
“Assalamu’alaikum”.
“Wa’alaikumsalam”.
Kami berpisah, dua bahu semakin menjauh. Sebuah bahu
melesat membelah angin di atas sepeda pinjaman. Sedangkan satu bahu lainnya
merasakan kesejukan buatan yang ditiup moncong-moncong mesin pendingin ruang
tunggu rumah sakit. Allah mengatur pertemuan dan perpisahan kedua bahu.
Bukittinggi, -- September 2018
@Amrhy_02
No comments:
Post a Comment