ROMANTIKA
SESAAT
Cerpen
“Sebel…
Sebel…” Bathinku dalam hati.
Bagaimana
nggak sebel, sahabat karibku Rifal meremove
diriku dari list akun WA-nya.
Alhasil mukaku kutekuk sepanjang hari. Untung hari itu aku izin kerja, jadi
teman-teman satu kantor nggak melihat wajah jelekku yang lagi ngambek.
Sejujurnya
aku memahami keadaannya karena kini dia telah punya pasangan, dan aku tahu
pasangannya Amel termasuk golongan wanita dengan kadar cemburu di atas 100% dan
mungkin langkah yang Rifal lakukan adalah untuk menjaga perasaan istrinya,
walaupun kutahu itu bukan solusi terbaik menurut pandanganku.
Desir
pasir di padang tandus… Tiba-tiba handphoneku berbunyi, ketika kulihat ternyata
Fikar menelpon.
“Assalamu’alaikum,”
terdengar sapanya.
“Wa’alaikumsalam
warahmah,” jawabku lesu karena kurang mood
gara-gara perlakuan Rifal.
“Ada
waktu untuk ketemu? Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan. Jam setengah empat
aku tunggu di Taman Maharam. On time…
Awas telat,” katanya terus memutuskan telpon.
“Dasar
nggak sopan.” Keluhku. Tapi aku tahu sifat Fikar dari dulu memang to the point, dia nggak suka basa basi.
Taman
Maharam adalah satu dari sekian taman di kota Bukittinggi, terletak di satu
sisi Ngarai Sianok. Di sana sering di pakai sebagai tempat kumpul-kumpul,
apalagi oleh remaja. Selain asri, di taman Maharam juga ada wahana
permainannya.
Aku
datang jam tiga dua puluh menit, karena
saat itu aku lagi nggak sholat jadi datang lebih awal takutnya Fikar ngomel
lagi kalau aku terlambat. Untung saja di sana aku belum melihat batang hidung
Fikar, sahabat kecilku dan juga cinta pertamaku. Aku menyukainya sejak dulu,
tapi nggak berani berharap lebih karena dia mempunyai banyak kelebihan nggak
sebanding dengan diriku. Dia tampan, cerdas dan telah mencapai kebebasan
finansial di usianya yang masih muda.
Dari
kejauhan aku melihat sesosok putih, dengan baju kemeja senada dengan kulitnya
yang bersih. Senyumnya yang lama
kurindukan walaupun aku tahu bahwa itu rindu yang terlarang. Sesekali pernah
terlintas di pikiranku, “Kapankah kerinduanku ini berubah jadi halal untuk
diriku?”
Fikar
mengajakku ke warung yang berada di taman tersebut. Dia memesan jus mangga
kesukaannya sedangkan aku memesan jus apel kesukaanku.
“Kenapa
wajahmu kok jelek gitu?” Tanya Fikar sambil meminum jus kesukaannya
Aku
menceritakan kekecewaanku pada Rifal. Fikar tahu Rifal karena kami bertiga teman semenjak SD.
“Bukankah
cemburu itu bagian dari cinta?”
“Iya,
tapi bila berlebihan itu juga nggak baik. Secara tidak langsung kita tidak
percaya sama kesetiaan pasangan kita.”
“Jika
cemburuku karena aku merasa lebih baik darinya seharusnya dia memahami itu.
Lagipula kenapa juga aku harus cemburu, kan yang dipilih Rifal sebagai
pasangannya adalah dia bukan aku,” protesku.
“Hmmm…
Dasar egoismu kadang nggak berubah ya, kau juga harus melihat tidak hanya dari
sudut pandangmu saja. Bagaimanapun kau dan Amel bukanlah individual yang sama,
kalian berdua diterpa dengan kedewasaan yang berbeda. Mungkin ini yang terbaik
buat kalian bertiga, aku yakin ada hikmah dari setiap kejadian. Iya kalau Rifal
remove kamu gara-gara Amel, bagaimana
jika dia masih punya perasaan padamu?”
“Maksudmu…”
“Rifal
sebenarnya dari dulu suka sama kamu, kamu saja yang kurang sensitive. Terus dia bertemu dengan Amel, dia merasa Amel
membutuhkan dirinya lebih dari kamu makanya dia memilih Amel. Namun aku yakin
perasaan Rifal sama masih ada. Kini dia berjuang bagaimana dia menjaga cintanya padamu karena
Allah dan konsekuensi atas pilihannya pada Amel sebagai pasangannya saat ini. Dia harus menjaga cintanya dan
bertanggungjawab atas pilihannya. Keputusan Rifal ini bukanlah keputusan yang
mudah, dia mencintaimu karena Allah dan tetap ingin cinta tersebut dengan
memasrahkan dirimu kepada Allah.” Aku hanya terdiam mendengarkan penjelasan
Fikar.
“Cemburu
boleh saja, namun jangan sampai membuat kita jadi posesif. Ingat, cinta itu
sebatas kematian saja namun cinta karena Allah itu adalah cinta yang abadi.
Secinta-cinta pada manusia, suatu saat nanti cinta tersebut akan diambil Allah
kembali.”
“Selain
itu, ini petanda kalau kau harus cepat mencari pasangan hidupmu juga biar nggak
menimbulkan fitnah.” Tegas Fikar.
“Ngomong
mah gampang, tapi dengan siap?” Tanyaku balik.
“Siapkan
dirimu menjadi Mrs. Fikar Rasyid?” Tanyanya serius.
Aku
tersedak mendengar ucapan Fikar, hatiku berdebar nggak karuan. Apa aku nggak
salah dengar dengan apa yang barusan dia katakana. Spontan saja aku melontarkan
pertanyaan tak penting.
“Mengapa
kau mengucapkan kata-kata itu, kau menggodaku ya?”
“Apa
aku terlihat menggoda atau serius?”
“Fikar,
sebaiknya kau jangan menjadikan aku sebagai Mrs. Fikar, aku tuh jelek, lebih
tua dari kamu, aku tuh nggak bisa masak, nggak pandai bersih-bersih rumah…
dan... “ Ucapanku mulai ngelantur ke mana-mana. Aku jadi salah tingkah
dibuatnya.
“Aku
mencari pasangan hidup bukan mencari pembantu… Semua pekerjaan itu bisa kita
bicarakan nanti karena kita bisa saling berbagi tugas untuk membentuk keluarga
yang di idamamkan setiap orang.” Jelasnya.
“Aku
juga minta maaf telah membuatmu menunggu. Aku tak menghubungi bukan karena aku
tidak ingin bersamamu tapi karena aku ingin menjaga kesucian cintaku padamu.
Aku berusaha keras agar bisa menjadi tubuh dan sosok terbaik untukmu. Aku ingin
membahagiakanmu dan aku mencintaimu karena Allah.”
“Apakah
kau bersedia menjadi Mrs Fikar?” Tanyanya menegaskan lagi.
Aku
hanya diam dan wajahku memerah
“Dengan
nama Allah wahai Tyti Rahman izinkan aku menjadi imam bagi hidupmu dunia dan
akhirat, Insya Allah…” Kata Fikar tegas.
“Subhanallah…
Sungguh engkau menjagaku untuk lelaki hebat dihadapanku ini Ya Rabb”. Kataku
dalam hati dan aku pun menganggukkan
kepalaku tanda setuju.
“Ini
sebuah kotak perhiasan berisi kalung liontin berbentuk angka satu dan bulan
sabit yang terbuat dari berlian dan emas putih.”
“Apa
ini?” Tanyaku
“Itu
kado buatmu, pakailah! Aku ingin kau
selalu menjadi yang nomor satu. Liontin itu dekat dengan jantung, aku berharap
dalam hidupmu mencukupkan sesuatu dengan Allah di hatimu.” Papar Fikar padaku.
Setelah
itu kami pun pulang ke rumah masing-masing.
Selepas
Isya’
Desir
pasir di padang tandus… Suara handphoneku berbunyi dan kulihat ada telpon dari
Rifal.
“Assalamu’alaikum,”
sapanya.
“Wa’alaikumsalam
warahmah,” balasku.
“Ty…
Mohon kuatkan hatimu dan ikhlaskan, Fikar mengalami kecelakaan, mobilnya
bertabrakan dengan truk. Dia meninggal di lokasi.”
Aku
langsung lemas. Mulutku berkata “Innalillahi
wa innailaihi raji’un, sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan kepada
Allah jualah kami kembali.” Handphone di tangunku jatuh dari genggamanku.
Pandanganku gelap… Aku pun tak sadarkan diri lagi.
Cerpen_By:Amrhy_02
@Amrhy_02
No comments:
Post a Comment